Kamis, 16 Agustus 2007

Reaching The Star

(Menggapai Bintang)

Jonathan baru saja keluar dari ruang dosen ‘neurologi’, salah satu mata kuliah yang dia ambil di Fakultas Kedokteran. Dia baru saja selesai berbincang dengan Prof. Felix, salah satu dosen favorit Jo di kampusnya. Jo kelihatan begitu tidak bersemangat. Dia melangkah gontai ke arah kantin. Di sana telah menunggu sahabat-sahabatnya dari SMA. Meski kuliah jurusan kedokteran yang terkenal karena tugas kampus yang berjibun, Jo masih menyempatkan diri kumpul dengan sahabat-sahabat terdekatnya yang kebanyakan dari Fakultas Ekonomi.

“Hi, guy!! What’s up?!” sapa Vincent.
Jo cuma menggeleng, tak bereaksi.
“Loe kenapa Jo? Salah minum obat loe? Ha..ha…” celetuk Denissa.

Yang mengejutkan mereka berlima bukan ekspresi wajah Jo, tapi pernyataan Jo setelah menghela napas panjang:
“Gue DO, frenz. Gue nyadar gue ga pantes jadi seorang dokter. Seorang dokter seharusnya orang yang berhati mulia, tapi gue bukan orang baik. Loe orang inget, gue bahkan ga mau ngeliat Alice di saat-saat terakhir dia. Bahkan ampe sekarang gue juga ga berani ngunjungin dia di makamnya. Alice yang bahkan ga pernah bisa ngerayain Sweet Seventeen-nya. Loe orang tahu betapa jahatnya gue”.

Jo kelihatan begitu terpukul saat mengucapkan kata-kata itu. Ucapan Jo membawa mereka semua kembali ke kejadian tiga tahun yang lalu. Saat itu mereka bertujuh adalah remaja-remaja yang begitu bahagia, begitu hidup, lepas, bebas, tak ada beban, hidup terasa begitu indah, bahkan lebih indah dari pada pelangi yang muncul saat hujan telah reda. Lebih hangat dari mentari di ufuk timur, layaknya kehidupan remaja SMA lainnya.

Tapi ternyata ungkapan yang berbunyi tak ada yang abadi di dunia ini ada benarnya juga. Saat kehidupan mereka sedang merekah, suatu kejadian yang tak pernah terpikirkan menimpa Alice, gadis yang senyumnya paling manis di antara semua anak cewe’ di S-Club. Kalau Alice meminta sesuatu dengan senyumnya, Jo tidak pernah bisa menolak. Bahkan saat ini ketika Jo sedang berbicara kepada sohib-sohibnya, Jo masih bisa membayangkan senyum Alice dan betapa kecewanya Alice ketika di saat-saat terakhirnya pun Jo tidak pernah menghubunginya, apalagi mengunjunginya.

Jonathan cuma ingat saat itu Alice pingsan di kelas. Tiba-tiba. Tak ada yang mewaspadai sebelumnya. Tapi Alice pingsan bukan cuma dalam hitungan jam. Dia pingsan selama tiga hari dan selama itu Jo cuma sempat mengunjunginya satu hari, itu pun hanya 15 menit saja.


Sebelumnya Alice memang sering pingsan saat pelajaran olahraga. Tapi itu dikarenakan Alice jarang sarapan, sehingga tubuhnya lemah. Namun tidak seorang pun di antara mereka yang menyangka kalau Alice terserang virus paling mematikan di dunia. AIDS. Selama ini mereka tidak pernah membayangkan kalau salah satu di antara mereka akan meninggal akibat virus tersebut. Bahkan mungkin malaikat di Surga juga tidak pernah berharap kalau Alice yang ceria, ramah dan selalu baik terhadap siapa pun akan pergi untuk selamanya.

Vonis dokter saat itu mengatakan kalau umur Alice mungkin tinggal 6 bulan lagi. Tapi, tak ada yang menyangka kalau ternyata perkiraan dokter melesat jauh. Alice hanya bertahan sebulan sejak dia pingsan untuk pertama kalinya di kelas. Dokter telah salah memperkirakan sampai sejauh mana virus telah merongrong organ-organ tubuh Alice.

Saat itu Jo begitu panik melihat Alice pingsan. Memang, di antara anak-anak S-Club, Jo paling akrab dengan Alice, bahkan Jo sempat menyadari kalau dia menyukai Alice. Tapi Jo tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya, karena genk mereka, S-Club, kepanjangan dari Seven-Club, telah berkomitmen kalau setiap dari anggotanya tidak diperbolehkan berpacaran dengan sesama anggota.

Semua bertambah parah saat papa Jo yang temasuk salah seorang dokter tekemuka di Jakarta mengetahui masa lalu Alice. Mama Alice ternyata mantan wanita panggilan kelas atas yang kemudian menikah dengan papa Alice, seorang pengusaha garmen terkenal di Jakarta. Ternyata saat mama Alice mengandung Alice, saat itu virus HIV telah menggerogoti tubuhnya, yang kemudian tanpa disadarinya ternyata telah ditularkannya kepada anak satu-satunya.

Dokter Phillip, papa Jo, seorang dokter bedah syaraf yang begitu mengagungkan derajat dan martabatnya, melarang Jo berhubungan sama sekali dengan keluarga itu. Dia takut Jo akan tertular virus dari Alice. Ternyata pendidikan kedokterannya pun tak mampu membuat dokter arogan itu sadar kalau AIDS hanya dapat menular lewat kondisi tertentu saja.

Jo sebenarnya bukan takut dengan larangan papa. Dia hanya shock saja karena Alice tidak pernah memberitahunya. Jo tahu penyakit Alice dari Sandra, anggota S-Club yang paling dekat dengan Alice. Dan yang lebih menyakitkan Jo, ternyata semua anggota S-Club kecuali Jo tahu tentang hal ini. Alice yang meminta mereka merahasiakan semua ini dari Jo. Alice takut Jo akan menjauhinya karena mengangapnya ’tidak normal’.

Bahkan sampai di saat-saat terakhir saat Alice hanya mampu terbaring di ranjang Rumah Sakit, tidak pernah sekali pun Jo menjenguknya. Jo sebenarnya tidak membenci Alice. Dia hanya mencoba menghindar dari kenyataan. Dia begitu takut kehilangan Alice. Takut tidak bisa melihat Alice lagi. Dia selalu mendoakan Alice dalam tidurnya. Berharap dokter salah diagnosa. Bahwa virus yang menyerang Alice bukanlah AIDS, tapi hanya virus biasa yang tidak mematikan. Jo berharap tanpa kehadirannya di sisi Alice, Alice akan terus menunggunya. Supaya Alice selalu berharap akan kedatangan Jo sehingga Alice tidak akan pernah meninggalkannya.

Namun ternyata Jo salah. Kematian memang hak Sang Pencipta. Saat vonis dari atas dijatuhkan, tak ada satu hal pun yang bisa mengubahnya. Bahkan penyesalan Jo sekalipun tidak mungkin mengembalikan Alice ke sisi nya lagi.

Alice pergi setelah menunggu dalam penuh harapan bahwa Jo akan memaafkannya karena merahasiakan penyakitnya dari Jo. Tapi Jo tidak pernah datang, bahkan sampai saat terakhir sekalipun. Alice pergi dengan penuh penyesalan sebab Jo tidak akan pernah tahu betapa sayang Alice padanya.

Saat tubuh Alice masih dapat menopang berat badannya, Alice menulis sebuah puisi untuk Jo. Sebuah puisi yang mungkin tidak akan pernah Jo baca sampai akhirnya Sandra sendiri yang menyerahkan buku harian berisi puisi itu kepada Jo tiga tahun kemudian, saat Jo mengatakan kepada S-Club kalau dia akan berhenti dari kuliah kedokterannya.

Sebenarnya jadi dokter bukanlah cita-cita Jo. Itu ambisi papa. Karena papa seorang dokter, Jo juga harus jadi dokter. Yah, minimal dokter penyakit dalam lah!! Papa emang ambisius. Jo sebenarnya pengen jadi arsitek, sebab dari kecil Jo emang senang dengan gambar-gambar bangunan. Tapi saat papa bilang kalau Jo sudah didaftarkan ke salah universitas bergengsi di Jakarta dan sudah pasti diterima tanpa perlu berdesak-desakan dengan calon mahasiswa lain yang harus ikut tes, Jo tidak bisa menolak keinginan papa. Selama ini Jo dididik untuk jadi anak penurut, apapun keinginan papa mesti Jo turutin.

Tapi Jo yang sekarang bukan lagi Jo tiga tahun yang lalu. Yang penurut, yang tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Saat Jo beranjak dewasa, Jo sadar kalo dia sendiri yang berhak menentukan hidup seperti apa yang dia inginkan.

”Jo, ini buku harian Alice. Sekarang jadi milik loe. Di dalamnya ada puisi yang sempet dia tulis saat dia begitu merindukan keberadaan loe di saat-saat terakhir dia. Dia pesen ke gue kalo gue mesti nyerahin buku ini ke loe saat loe lagi down, uda hilang harapan. Seperti saat ini, saat loe bilang loe mau berhenti kuliah. Loe baca en coba loe renungin betapa dalam perasaan dia ke elo ’n betapa kejamnya elo ama dia”.







~As beautiful as you~

In my life, I’m so glad that I can know you
I even never imagine that life can be so beautiful having you beside me…

Just hope that every time I close my eyes, you are there by my side.
Holding me close to your arms…

With you I have every good thing that life can bring
You give me your shoulders when I need it to cry
You give me your time ‘N spend it with me
You give me your smile ‘N I feel so proud

Till my last breath I want to spend my life time loving you
Being with you is my wish upon any dreams

It warms my soul when I know that you always stand by me
Knowing that you always care for me, and always will
When no one understands me, you do
When I have no where to go, you show me the lightWhen I feel so tired and think to quit, you cheer me up!!
It’s just as beautiful as the rainbow
Watching the sunrise, knowing that there’s always hope when I’m with you

And life couldn’t be more beautiful as now…

-Alicia-









































Jonathan tidak menyadari saat air mata jatuh di atas buku harian Alice. Jo teringat masa-masa saat ia dan Alice masih bisa tertawa bersama, bahagia bersama. Lalu saat Jo ketahuan tidak mengerjakan tugas Pak Edo, guru Fisika paling galak di sekolah, Alice yang membantu Jo mengepel lantai sekolah dari ujung ke ujung sebagai hukuman dari Pak Edo. Tapi mereka menikmati masa-masa itu. Mereka masih bisa tertawa walau sebenarnya tidak ada yang bisa dibanggakan dari hukuman yang diberikan Pak Edo. Jo rindu masa-masa itu. Masa-masa dimana ia, Vincent, Jeff, Alice, Sandra, Denissa, dan Maria selalu bersama saat di sekolah maupun saat mengerjakan tugas dan saat berharap-harap cemas bahwa nama mereka terpampang di papan pengumuman kenaikan kelas. Semuanya berubah ketika Alice akhirnya pergi. Mereka sepakat membubarkan S-Club setelah kepergian Alice. Mereka memang masih bersama, namun semuanya begitu berbeda tanpa Alice. Saat mereka menongkrongi papan pengumuman kelulusan di kelas 3, mereka tidak seantusias saat berharap mereka semua naik ke kelas 3.

Jo teringat saat Vincent dan Jeff meninjunya karena Jo tidak pernah muncul di hadapan mereka ketika Alice akhirnya pingsan lagi setelah sempat dipulangkan kerumah, sehingga terpaksa harus dirawat di UGD. Saat mereka menghadiri upacara penaburan bunga untuk Alice pun Jo tidak hadir. Ia hanya merenung di kamarnya dengan mendekap setangkai bunga matahari dan melepas kepergian Alice dengan caranya sendiri. Jo berharap Alice seperti matahari, yang akan selalu terbit setiap hari. Namun hal itu hanya membuat Jo semakin terpuruk dalam keputusasaan dan penyesalan yang lebih dalam.

Ketika mereka berenam ternyata bertemu kembali di Universitas yang sama, mereka berusaha membangun kembali persahabatan yang telah renggang. Mereka mengambil komitmen untuk lebih memperhatikan satu dengan yang lain dan memilih untuk melupakan masa lalu, tanpa melupakan bahwa di suatu waktu dulu pernah ada sahabat mereka yang bernama Alice.

Jo berusaha membangun kembali kepercayaan dirinya karena rasa bersalah yang dipendamnya seorang diri. Dan dia berusaha sekuatnya untuk lepas dari bayang-bayang papa. Saat dia dengan berat hati memutuskan untuk kuliah di bidang kedokteran, Jo berusaha untuk fokus di bidang itu. Namun rasa bersalah yang telah hampir ditaklukannya kembali menerpa saat Jo mengetahui dari Maria kalau Alice sempat memintanya dan Sandra untuk melarikan Alice dari Rumah Sakit untuk menemui Jo di hari ulang tahun Jo yang ke-17.

Padahal di hari itu Jo sedang menikmati kebahagiaan hari itu bersama keluarganya dengan mengunjungi Disney Land di Hong Kong. Sementara Alice berusaha menemui Jo untuk menjelaskan kesalahpahaman di antara mereka, Jo malah asyik menikmati liburannya. Mengetahui hal ini membuat Jo begitu frustrasi, dan akhirnya ia memutuskan menemui Prof. Felix, dosen yang paling dekat dengan Jo. Ia memutuskan untuk berbicara dengan Prof. Felix bahwa dia tidak akan meneruskan pendidikan kedokterannya. Prof. Felix, ternyata di luar dugaan Jo tidak melarang Jo sama sekali. Prof. Felix hanya berkata,

”Jo, you know better what you want in your life. Whether you want to quit or not is up to you. I have no right to prohibit you. But one thing for sure, I believe that you have the potency to be a good doctor and I’ll feel sorry if I cannot see one of my best students be a successful doctor. If you change your mind, you can come to see me and I’ll help you with your problems. You just need to take a trip and freshen your mind”.

Jo menuruti nasehat Prof. Felix dan memutuskan berlibur selama sebulan di Bandung di tempat saudaranya. Jo telah melewatkan hampir semingu di Bandung tanpa mengerjakan apa pun. Setiap harinya dia hanya ke pantai di daerah sana untuk mendapat inspirasi, namun dia selalu pulang dengan gelisah. Jo selalu teringat Alice dan kata-kata Prof. Felix juga selalu bergema di telinganya. Rasanya kepalanya mau pecah saja!!

Dan inspirasi yang dinanti-nantikan Jo akhirnya datang juga. Bukan dalam bentuk ilham. Tapi dalam diri seorang gadis yang entah kenapa sepertinya sengaja dikirim Alice untuk Jo. Mereka berkenalan secara kebetulan saat Angel terjatuh karena tersandung pasir. Dan saat itu kebetulan Jo sedang duduk di atas batu karang tepat saat mata Jo tidak sengaja bertemu dengan mata Angel. Jo menghampiri Angel. Membantunya berdiri. Sosok Angel seperti malaikat, dia cantik, tinggi, dan menarik. Tapi yang membuat Jo merasa dekat dengan gadis itu seolah telah lama mengenalnya adalah saat Angel tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada Jo. Angel kelihatan seperti sebuah lukisan hidup di tengah pantai yang dilukis 3 dimensi. Begitu hidup. Begitu nyata. Dan membangkitkan rasa ingin tahu Jo untuk mengenal gadis itu lebih dalam.

”Hai! Loe baik-baik aja?” tanya Jo.
”Gue ga pa pa koq. Thanx yach uda bantuin”. Angel tersenyum
”Loe asli orang Bandung?” tanya Jo lagi.

”Hmm... Gue bukan orang Bandung, tapi gue melewati hampir sebagian besar waktu gue di sini. Gue suka pantai dan ini pantai favorit gue di Bandung. Gue sering ke sini selama liburan. Di sini ada oma gue. Oya, nama gue Angela, loe boleh panggil gue Angel kalo mau. Loe siapa ’en dari mana?”

”Gue Jonathan, biasa dipanggil Jo. Gue tinggal di Jakarta. Sama kaya loe. Lagi liburan aja di sini. Mungkin kita bisa jadi teman sebelum kembali ke tempat asal kita masing-masing”, Jo menjawab sambil mengulurkan tangan.

”Boleh aja. I like making friend and I think it will be nice to make friend with you”, Angel membalas uluran tangan Jo.

Begitulah awal mula perkenalan mereka. Sejak itu mereka sering keluar bareng dan tempat yang pasti tidak pernah mereka lewatkan untuk dikunjungi adalah daerah pantai. Suatu hari Jo pernah bertanya kepada Angel saat mereka duduk di pantai,

”An, gue bole tanya sesuatu ma loe?”
”Emm.. Apa tuch?”
”Menurut insting gue yang bisa salah bisa bener, loe pasti punya kenangan tersendiri dengan pantai. Soalnya loe kayanya uda menyatu banget dengan pantai. Apa gue bener?” tanya Jo sambil menatap Angel.

”Hmm, sebenernya gue suka pantai emank karna gue punya banyak kenangan di pantai”.
Angel menarik napas sebentar, lalu melanjutkan, ”Tom, pacar gue, dulu pernah jadi korban keganasan ombak di pantai. Tom itu orangnya baa....iiiik banget dan dia tipe orang yang ga pernah bisa liat orang lain susah. Meski dia ga kenal orang itu. Setahun yang lalu saat kami ke Anyer, Tom pernah menyelamatkan seorang anak yang hampir hanyut karna berenang terlalu dalam. Dia berhasil menyelamatkan anak itu”, Angela mengatakannya sambil tersenyum simpul.

”Lalu dimana Tom sekarang?”

”Anak itu memang berhasil diselamatkan, namun sayangnya Tuhan menakdirkan lain. Tom terseret ombak dan hilang sampai sekarang. Apakah dia masih hidup atau sudah mati, tidak ada yang tahu. Pencarian dihentikan sebulan yang lalu, karna Tim SAR mengatakan kecil kemungkinan Tom masih hidup walau mayatnya tidak pernah ditemukan”, sambil menceritakannya Angela menghela napas panjang.

”Dan loe ga pernah dendam sama anak itu?”
”Dendam? Apa gue punya alasan untuk membenci dia?”
”Tentu aja loe punya! Kalau bukan karna anak itu, loe sekarang bisa bahagia bersama Tom. Ga perlu kesepian seperti sekarang ini”.

”Loe salah! Gue kehilangan Tom bukan karna anak itu. Seperti yang uda gue ceritain sebelumnya, Tom orang yang sangat baik. Hatinya begitu lembut. Jika bukan anak itu yang Tom selamatkan, mungkin juga akan ada orang lain yang mesti diselamatkan olehnya. Jadi, gue kehilangan Tom bukan karna anak itu. Dan satu hal lagi loe salah! Gue ga pernah merasa kesepian meski Tom uda ga di sisi gue sekarang. Tau knapa? Karna gue bahagia bukan karna dengan siapa gue berada, tapi gue bahagia karna gue tau untuk apa gue ada. Kalau seandainya gue mesti hidup dalam kesepian, mungkin loe ga akan pernah ketemu gue di sini lagi. Mungkin gue uda bunuh diri karena saking putus asanya”. Angel menoleh ke arah Jo, senyum tetap tersungging di bibirnya.

”Loe tau, kisah hidup loe ga jauh beda ama punya gue. Gue juga uda kehilangan orang yang gue cintai untuk selamanya. Tapi bedanya, gadis itu ga sempet tau kalau gue sayang banget ama dia. Dan satu lagi bedanya gue ma loe, gue ga akan bisa bahagia karna gue ngrasa bersalah atas kepergiannya”.
Dan Jo pun menceritakan tentang Alice kepada Angel. Betapa menyesalnya dia dan betapa inginnya dia kembali ke masa itu.

”Gue nyesel kenapa ga gue ungkapin aja perasaan gue ke dia. Harusnya gue tau normal aja bagi seorang anak remaja untuk suka ama lawan jenisnya. Sebenarnya gue bukan orang yang tertutup. Gue ga perlu takut ditolak. Kalo Alice tau betapa gue juga sayang ama dia, mungkin Alice bisa pergi dengan lebih damai dan bahagia. Tapi saat itu gue begitu takut ama papa. Dan gue nyesel. Loe tau ga perasaan apa yang paling menyakitkan? Cinta yang tak terungkapkan! Karena tenyata dunia gue rasanya begitu hampa tanpa dia. Meski gue tau dia juga ga akan kembali setelah tau perasaan gue yang sebenarnya, tapi setidaknya gue harusnya ada di sisi dia saat dia butuh gue”.

”Jo, masa lalu harus dihadapi dengan tegar. Loe ga mungkin selamanya hidup dalam bayang-bayagn masa lalu. Loe mungkin emank bisa lari dari masa lalu, tapi loe ga mungkin sembunyi. Hadapi kenyataan, dan bukannya sembunyi. Gue percaya kalau masih ada yang bisa loe lakukan. Loe bisa jadi dokter buat orang-orang miskin. Itu uda sangat membantu sekali bagi orang-orang yang butuh pertolongan dokter”.

Jo terdiam beberapa saat. Lalu dia berkata, ”Thanx ya, An. Mungkin elo emank malaikat yang dikirim Tuhan untuk nyadarin gue. Loe membuat gue sadar kalo gue hidup bukan cuma untuk diri gue. Gue punya misi yang harus gue kerjakan. Thanx ya for giving me spirit when I felt no more hope. Sekarang gue tau apa yang mesti gue kerjain. Alice pernah bilang ke gue kalau hidup itu begitu singkat dan kita ga akan pernah tau sampai berapa lama kita akan terus hidup. Tapi bukan itu yang penting. Asal kita ga pernah kehilangan harapan, hari esok akan jadi milik kita. Dan apa yang dia ucapkan begitu menyentuh hati gue yang terdalam. Gue bersyukur bisa mengenal loe berdua. Alice cewe paling baik yang pernah gue kenal, dan loe cewe paling penuh semangat hidup yang pernah gue kenal”.

“Sebenarnya bukan gue yang uda bantu loe. Tapi loe yang uda bantu gue. Walau baru semingu gue kenal loe, tapi loe juga uda banyak ngerubah gue. Mungkin seperti kata loe, gue emank penuh semangat. Tapi gue dulunya bukan orang yang begitu terbuka sama orang yang baru gue kenal. Tapi loe bisa membuat gue bahkan cerita tentang masa lalu gue ke elo. Sebenarnya gue malah menemukan kekuatan baru di diri loe yang rapuh. Gue jadi sadar ternyata emank kita ga mungkin bisa sendirian”. Angel berkata sambil menatap jauh ke dalam mata Jo.

Dan Angel melanjutkan, ”Gue takut kalau gue uda salah langkah. Tapi satu hal yang pasti, gue tau gue uda jatuh cinta untuk yang kedua kalinya. Bukan karna gue kesepian, gue ga pernah ngrasa kesepian dalam hidup gue. Tapi karna gue ingin berbagi segala perasaan gue ke elo. Mungkin kita....”

Belum sempat Angel melanjutkan kata-katanya, Jo telah memotong pembicaraan Angel. ”Gue bukannya takut jatuh cinta lagi. Gue cuma ngerasa masi ada satu hal yang mesti gue lakukan. Dan sekarang gue tau apa yang gue ingin lakukan dalam hidup gue. Gue pengen jadi dokter anak. Alice begitu sayang anak kecil. Dan gue ingin Alice hidup di hati gue saat gue jadi dokter nantinya. Jadi sebelum saat itu tiba, gue ingin belajar sepenuh hati untuk bisa jadi dokter yang baik. Mungkin besok gue akan balik ke Jakarta. Gue uda terlalu lama ketinggalan kuliah dan sekarang gue harus siap-siap untuk balik besok dan booking tiket ke Jakarta”.

Jo berdiri dan membersihkan pasir yang menempel di celananya. Sebelum pergi, Jo berkata lembut, “Kalau loe emank ditakdirin untuk gue, kita pasti akan ketemu lagi suatu hari nanti. Tapi sampai saat itu tiba, jangan nunggu gue. Loe pantes dapetin cinta yang tulus dari seorang pria yang mencintai loe”.

Dua tetes air mata jatuh di pipi Angel saat Jo berjalan menjauh dan di hati Angel terlukis sebuah puisi untuk Jo. Alice menatap langit dan berjalan berlawanan arah dengan Jo.

Tidak ada komentar: